Analisis "Public Speaking" Debat Capres Ketiga
Minggu, 07 Januari 2024
Edit
DEBAT ketiga yang diikuti tiga calon presiden (capres), Minggu (7/1/2024) malam, menjadi peneguh saja atas tiga warna yang dari semula mau diusung ketiga paslon.
Tak ada yang benar-benar baru. Mengapa demikian? Pada bagian pertama debat, saat pemaparan visi misi, konsistensi pesan dan gaya terus dipertahankan oleh capres nomor satu Anies Baswedan dan nomor tiga Ganjar Pranowo.
Terutama Anies, pesan perlunya perubahan dan sikap oposisi, dengan menajamkan hingga mengubah kebijakan eksisting kembali disuarakannya. Baik di sepanjang narasi dan terutama punch line di akhir segmen bagiannya.
Anies akan banyak diingat semalam, terutama ketika berkali-kali mengkritisi langkah yang dilakukan capres nomor urut dua Prabowo Subianto sebagai Menteri Pertahanan, serta langkah yang dilakukan Presiden Jokowi (sebagai endorser No 2) dalam bidang hankam dan hubungan internasional.
Pertahanan yang punya anggaran jumbo, tapi malah kena peretasan pada 2023, lalu tanah jumbo 340.000 hektare, serta dinilai gagal dengan program food estate-nya.
Selain itu, kebijakan hankam dan luar negeri Presiden Jokowi yang sekadar hadir di forum internasional, namun tidak memberikan warna signifikan pengaruh ke negara maupun kawasan negara lainnya.
Ganjar, kalau kita ingat-ingat lagi dari debat capres perdana, selalu menekankan suara rakyat arus bawah senapas dengan jargon PDI-P sebagai partai wong cilik. Jadi, bahasan apapun yang sifatnya global, modern, dan kekinian, selalu dikaitkan dengan aspirasi masyarakat bawah sebagai penerima dampak pelaksanaan kebijakan level atas itu.
Tak ketinggalan, konsistensi memperjuangkan Palestina serta best practise sebagai anggota dewan dan gubernur total 20 tahun, juga disampaikan kembali.
Sementara Prabowo, dalam amatan penulis, seharusnya bisa lebih bernas dan show off karena selama ini pelaku utama dalam melaksanakan kebijakan Indonesia dalam bidang hankam dan politik luar negeri.
Namun, pilihan katanya cenderung datar memberitahukan yang sudah pasti akan dilakukan seorang menteri pertahanan. Seperti membacakan deretan program, tapi tidak menukik dari sisi how dan why.
Bahkan, di beberapa fragmen cenderung lebih terpancing emosinya pada "tonjokan" yang sebelumnya dilancarkan Anies.
Pada bagian segmen berikutnya, sikap konsisten tak berhenti dilakukan terutama oleh Anies. Kritikan tajam dengan pilihan kata lugas, kalau meminjam istilah Gen Z, senjata Ulti-nya terus dilancarkan ke Prabowo.
Ulti yang diberikan relatif tidak membabi-buta karena mayoritas berbasis data dan informasi. Terbukti beberapa serangan yang bisa dengan mudah dicari datanya di Google, seperti soal pembelian alat utama sistem persenjataan (alutsista) bekas.
Sesekali ada juga, Abah Owl, sapaan Anies dari Gen Z sekarang, mengkritisi Ganjar, tapi dengan intensi dan spektrum pertanyaan lebih soft, sehingga relatif tidak ada dinamika menghangat antara keduanya.
Respons cukup panas, lagi-lagi terlihat “umpan” Anies memancing sisi emosi Prabowo. Balasan yang dikenang semalam dari Prabowo tentu saja kalimat-kalimat semacam, “ Omon-omon”, “Hanya bisa kata-kata”, “Kata-katanya teoritis”, “Tak pantas seorang Profesor berkata begitu”,”Anda tak pantas bicara soal etika”, “Anda menyesatkan”, dan seterusnya.
Sorot matanya tajam, serta rona wajahnya memerah. Sementara kalau kita telisik, materi debat cukup terlupakan dan energi lebih besar untuk menangkis dan mengklarifikasi. Bahkan ada satu momen ketika Prabowo berusaha menjelaskan dan menuduh datanya salah ke Anies sampai berkali-kali diingatkan moderator.
Selepas itupun, tangannya berkacak pinggang ditujukan kepada moderator yang menyetop durasi over-nya. “Undangan” khusus dari Prabowo ke Anies untuk membahas soal alutsista pun diberikan, seraya menyebut Anies tak mengerti soal pertahanan.
Saat sesi tanya jawab, “kehangatan” juga terjadi ketika Prabowo menyambut pertanyaan Anies soal standar etika dan penekanan pertanyaan sebelumnya di sesi pembuka. Prabowo menyebut Anies terus menyesatkan demi mengejar ambisi menjadi presiden.
Di sisi lain, Prabowo semalam berkali-kali menyatakan kesamaan gagasan dengan apa yang disampaikan oleh Ganjar. Dari soal rasio hutang maupun pertanyaan teknis soal hankam dan hubungan internasional. Ada kesan yang ingin disampaikan, kalau Prabowo relatif nyambung dengan Ganjar serta sama-sama bersikap konfrontatif dengan Anies.
Di sisi lain, Anies dan Ganjar relatif berkawan, tidak bersahabat erat, tetapi sama-sama halus saat mengkritik. Tambah menarik karena posisi Ganjar semalam justru di tengah-tengah Anies dan Prabowo, tak seperti debat sebelumnya.
Merujuk Onong Effendy dalam “Ilmu Komunikasi, Teori dan Praktik”, saat orasi, ada teori yang disebut teori kuda. Maksudnya, tiap bagian pidato merujuk anggota tubuh kuda. Yakni Exordium (kepala/pendahuluan, yakni pendahuluan harus dapat membangkitkan perhatian hadirin), Protesis (bagian punggung, yakni pokok permasalahan dikenalkan dengan pemaparan latar belakang masalah), Argumenta (Alasan yang mendukung pokok permasalahan), dan Conclusio (Ekor, yakni penegasan akhir tentang pandangan nalar yang benar mengenai pokok permasalahan).
Jika sebatas merujuk teori ini, maka Anies dan Ganjar lebih mampu menjalankan perencanaan orasi yang sudah disiapkan sebelum debat. Setiap sesi, ruh soal perubahan dan pro wong cilik, relatif lebih mampu dieksekusi keduanya. Saat menanggapi ataupun saling menjawab, idealisme keduanya tak luntur dan kekeuh di jalur itu.
Sementara Prabowo yang meneruskan kebijakan Jokowi, menyinggung soal keberlanjutan kebijakan, tetapi tidak begitu tebal, dan beberapa kesempatan sibuk tangkis sana-sini.
Maka itu, wajar jadinya, jika kita melihat impresi di media sosial selama dan setelah debat, kesan oposan Anies kian nyaring saja disebutkan netizen. Warganet yang inginkan perubahan disuarakan dengan berbagai pertanyaan Anies.
Ganjar terkesankan sebagai penerus pembangunan, namun akan lebih ditajamkan. Sementara Prabowo tetap dalam imaji siap lanjutkan kebijakan eksisting secara normatif.
Sumber: Kompas