Apakah Survei Pemilu Bisa Meleset?
Jumat, 12 Januari 2024
Edit
Jakarta - Pagi hari 9 November 2016 terjadi sebuah titik balik yang membingungkan, ketika Donald Trump terpilih menjadi Presiden Amerika Serikat mengalahkan Hillary Clinton. Orang Amerika baru sadar bahwa ternyata Donald Trump yang terpilih menjadi presiden, bukan Hillary. Mereka ribut dan gaduh, bagaimana bisa semua orang mendapatkan prediksi yang salah?
Kemenangan Trump yang "membuat gaduh" itu memicu banyak pertanyaan tentang statistik, kredibilitas survei, termasuk perihal big data, yang selama ini terbiasa diandalkan untuk mengukur banyak hal dalam kehidupan masyarakat. Muncul berbagai penjelasan dan analisis untuk kejadian anomali dan "keganjilan elektoral Trump". Ada yang menunjuk pada kehadiran Trump di media sosial, sementara yang lain menyebutkan bahwa biang keroknya adalah partisipasi pemilih yang rendah.
Berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan menjelang pemilu, survei eksklusif diselenggarakan oleh lembaga-lembaga survei kelas kakap seperti Gallup, Pew Research Center, CBS News, dan New York Times. Lembaga-lembaga survei tersebut hampir "ijtima" memberi Hillary berpeluang menang lebih dari 70 persen, yang menghabiskan lebih dari $200 juta untuk iklan di TV, sedangkan Trump menghabiskan kurang dari setengahnya.
Memprediksi pemilu bukan perkara mudah, sehingga memprediksi hasil pemilu dengan tingkat kepastian yang tinggi adalah hampir mustahil. Makanya tersedia margin of error sebagai ruang "pengampunan" bagi kekeliruan pengambilan sampel dan/atau analisis data.
Ketika Indonesia yang semakin digital dan sarana teknologi untuk menangkap jejak digital masyarakat semakin matang, gambaran perilaku yang beragam dan tidak terprediksi pun pasti muncul. Peran dominan media sosial dalam menjangkau pemilih benar-benar mesti diperhitungkan secara matang dalam melakukan survei. Beberapa platform digital dipastikan mempengaruhi perilaku pemilih.
Hasil survei pemilu adalah "kopi panas dalam cangkir" yang mencerminkan suasana hati masyarakat pada waktu tertentu dan dapat berubah "menjadi dingin" pada hari pelaksanaan pemilu. Ia bukan air kopi dalam termos air panas yang tahan lama dan tidak dapat diubah oleh faktor keadaan atau situasi tertentu. Oleh karena itu, jika hasil survei meleset, itu karena survei dan waktu pemberian suara tidak sama.
Prinsip Statistik
Sampel survei ditentukan berdasarkan prinsip statistik. Kecil atau besarnya tergantung yang Anda inginkan, atau sesuai anggaran yang tersedia. Pada umumnya, jumlah sampel di sekitar 1200 - 2000 orang. Mungkin ada orang yang bertanya, bagaimana mungkin menarik kesimpulan untuk ratusan juta orang dengan sampel sekecil itu?
Survei itu seperti pengambilan sampel darah. Berapa banyak darah yang perlu diambil dari tubuh seseorang untuk mengetahui golongan darahnya atau menentukan sakit apa yang dia alami? Sudah barang tentu hanya sampel yang sangat kecil dan acak.
Karena sifat sampel yang acak, kemungkinan besar Anda pun belum pernah disurvei. Secara acak, berarti 204 juta warga Indonesia dalam daftar pemilih mempunyai peluang yang sama untuk disurvei, sehingga kemungkinan menjadi bagian dari sampel adalah satu dalam jutaan.
Untuk proses pemilu saat ini, 38 lembaga survei telah terdaftar di Perkumpulan Survei Opini Publik Indonesia (PERSEPI). Kabar terakhir ada beberapa lembaga survei terdaftar yang mundur dari keanggotaan di PERSEPI. Perlu dicatat, meskipun mereka terdaftar di PERSEPI, sama sekali tidak berhubungan secara diametral dengan kualitas survei yang disajikan dan validitas hasil survei. Kualitas apapun bisa terjadi.
Merupakan hal yang wajar jika hasil survei berubah seiring berjalannya waktu, karena masyarakat mungkin saja berhadapan dengan kampanye, debat, dan mereka berbicara dengan orang yang mereka kenal, sehingga bisa membentuk opini lain dan mengubah pilihan.
Memang, belakangan kita agak terbiasa dengan statistik. Acara olahraga, terutama sepakbola, yang disiarkan langsung disertai dengan banyak data statistik. Saat komentator mengomentari pemain sering berpijak pada statistik untuk mengomentari setiap gerakan yang para pemain lakukan.
Statistik telah merambah banyak bidang kehidupan dan itu membantu kita memilih keperluan kita, seperti tempat makan, tempat berbelanja, judul film yang ingin kita tonton, atau membantu untuk menentukan barang apa yang kita akan beli di online shop. Bahkan, premi asuransi yang ditawarkan seorang sales dihitung berdasarkan statistik tentang usia kita, tempat tinggal kita, jenis kelamin, dan karakteristik gaya hidup kita.
Kita akhirnya menganggap penerapan statistik sesuatu yang penting, dan karenanya telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Namun statistik hasil survei pemilu belum terlalu banyak yang memperhatikan. Survei bukanlah pengukuran resmi, melainkan semacam petunjuk arah angin dalam ketidakpastian. Ia bagaikan suatu pertarungan tinju; seorang pengamat mengisi kartu poin dengan angka-angka yang menurut persepsinya diperoleh dari masing-masing petinju di akhir setiap ronde.
Tetapi, hasil resmi adalah hasil yang diumumkan oleh para juri di akhir kontes dan keduanya tidak harus bersamaan dan sama persis. Perlu dicatat bahwa survei hampir memberikan pengaruh elektoral, termasuk kepada mereka yang masih ragu-ragu. Hasil survei hanya berguna bagi politisi, jurnalis, atau analis. Survei menarik banyak minat, namun bukan berarti semua orang tertarik pada hasilnya. Tidak terlalu banyak dan signifikan orang yang mau melihat data-data statistik yang terkadang jelimet.
Ija Suntana Guru Besar Ilmu Hukum Tata Negara UIN Sunan Gunung Djati Bandung
Sumber: detik